Degradasi Motivasi, Krisis Makna dan Krisis Identitas Gen Z
Semakin ke sini, semua naratif yang kita lihat di sosial media adalah tentang kerapuhan mental Gen Z. Banyak masalah-masalah Gen Z yang beragam yang semakin terlihat bertebaran di internet, terutama di media sosial seperti Instagram dan TikTok. Banyak yang merasa bahwa dia tidak merasa puas dengan keadaannya saat ini, atau bahkan sampai ada yang merasa bahwa hidupnya tidak memiliki arti lagi, tidak ada gunanya lagi hidup. Dan ini semakin dikuatkan dengan banyaknya bunuh diri yang terjadi akhir-akhir ini, dan kebanyakan dari itu dilakukan oleh anak muda, generasi Z.
Gen Z selama ini dikenal dengan berbagai julukannya yang kadang terlalu negatif. Si paling gak sabaran, si paling healing, generasi paling manja, dan lain-lainnya. Karena dihadapkan dengan tekanan-tekanan yang datang bersamaan dengan kenyamanan teknologi. Dalam upaya menjalani hidup yang penuh dengan tentangan dan potensi, mereka acapkali terlihat dikit-dikit stres.
Kita seperti melihat sebuah fenomena besar yang sedang terjadi, yaitu degradasi semangat, atau bahkan krisis makna yang dialami anak muda. Namun, ironisnya, ini bukan salah mereka. Ini bukan sepenuhnya salah dari generasi Z.
Selain generasi milenial, Gen Z bisa dibilang merupakan generasi yang paling banyak dibicarakan saat ini. Generasi Z sendiri adalah istilah yang merujuk pada sekelompok individu yang lahir sekitar tahun 1995 hingga awal 2010.
Dalam sejumlah penelitian, disebutkan bahwa Gen Z adalah populasi terbesar saat ini. Populasinya Gen Z sekitar 32% dari total penduduk dunia. Bahkan, Bank Dunia mencatat 41% angkatan kerja dunia saat ini dihuni oleh para Gen Z. Sedangkan, menurut data Badan Pusat Statistik atau BPS per 2017, jumlah Gen Z di Indonesia mencapai 29,23%.
Mereka yang tergolong ke dalam generasi Z adalah produk dari perkembangan teknologi yang pesat. Mereka tumbuh di dalam era internet dan komunikasi digital yang tak terbatas. Generasi Z lahir di dunia yang dibentuk oleh internet, platform media sosial, smartphone, aplikasi, dan teknologi baru. Mereka seringkali digambarkan sebagai pribadi yang terhubung, penuh dengan inovasi, dan memiliki kecenderungan untuk memecahkan batasan yang ada. Mereka tumbuh dalam keragaman budaya yang lebih luas, memiliki akses tak terbatas pada informasi, dan terbiasa berkomunikasi melalui platform sosial digital. Namun, mereka juga terbebani oleh tekanannya kompleks, baik itu dalam pendidikan, pekerjaan, atau masalah sosial.
Generasi Z sering merangkul nilai-nilai inklusivitas, keberagaman, dan kesetaraan, serta berkontribusi pada pergeseran budaya.
Dalam buku Strawberry Generation dari Prof. Reynald Casali, yang sebutannya seringkali diucapkan juga terhadap generasi Z, mengatakan bahwa generasi ini adalah generasi yang memiliki banyak ide cemerlang dan kreativitas yang tinggi. Namun, di saat yang bersamaan, generasi ini juga dikenal mudah sekali untuk menyerah, sakit hati, lamban, egois, dan pesimis terhadap masa depan.
Mereka ternyata tidak memiliki kemampuan untuk pulih ke keadaan normal setelah menghadapi tekanan ataupun kesulitan, seperti buah strawberry yang menggoda dari luar. Namun, sebenarnya rentan dan rapuh, dan akan hancur hanya dengan sedikit tekanan. Tantangan yang dihadapi generasi Z sangat bertolak belakang dengan generasi-generasi sebelumnya, mulai dari inner circle maupun social media, biaya hidup yang meningkat, dan kondisi lingkungan yang kian mengkhawatirkan.
Tantangan terbesar yang dihadapi oleh generasi ini adalah bahwa kita semua berada di dunia yang terus berubah, dan terkadang sulit untuk menemukan makna hidup yang mendalam di tengah arus informasi yang terus mengalir. Meskipun Gen Z terlihat sebagai generasi yang terhubung, mereka juga menghadapi risiko krisis makna, di mana mencari tujuan dan makna hidup menjadi tantangan terbesar. Mereka adalah pencari identitas yang tenggelam dalam dunia yang begitu kompleks, mencoba mencari jawaban di lautan pertanyaan yang tak berujung.
Mungkin dikarenakan ketidakmampuan bangkit dari keterpurukan serta sifat gampang menyerah inilah yang menyebabkan banyak orang menganggap bahwa generasi Z disebut-sebut memiliki mental tempe. Menurut hasil survei terbaru, National Adolescent Mental Health, menyebutkan bahwa sekitar 5,5 persen dari remaja usia 10-17 tahun, atau sekitar 1 dari 20 remaja, telah didiagnosis menderita gangguan mental dalam periode 12 bulan terakhir. Selain itu, sekitar 34,9 persen dari remaja tersebut menghadapi setidaknya satu masalah kesehatan mental.
Gangguan cemas merupakan masalah kesehatan mental yang paling umum dialami oleh remaja, mencapai angka 26,7 persen dari populasi tersebut. Kekuatan perhatian atau hiperaktifitas dengan 10,6 persen, depresi 5,3 persen, masalah perilaku 2,4 persen, dan stres pasca trauma 1,8 persen.
Beberapa remaja juga melaporkan kecenderungan perilaku bunuh diri dalam 12 bulan terakhir. Diantara keseluruhan 1,4 persen melaporkan bahwa mereka memiliki ide untuk bunuh diri, 0,5 persen telah membuat rencana bunuh diri, dan 0,2 persen melaporkan bahwa mereka telah mencoba melakukan percobaan bunuh diri dalam 12 bulan terakhir
Sebanyak 0,4 persen remaja juga melaporkan bahwa mereka pernah mencoba bunuh diri selama hidupnya. Tetapi lebih dari 80 persen dari remaja yang melaporkan perilaku bunuh diri yang memikirkan merencanakan atau melakukan percobaan dalam 12 bulan terakhir mengalami suatu masalah gangguan mental.
Di sini kita mulai berpikir tidak mungkin semua ini terjadi secara sekaligus pada satu generasi. Tidak mungkin satu generasi menghadapi masalah yang kurang lebih sama dan berpengaruh sama. Pasti ada sesuatu di luar generasi itu sendiri yang bertanggung jawab terhadap terjadinya fenomena ini.
Generasi Z ini hidup di dalam dunia yang tak ada hentinya berubah terkoneksi secara terus-menerus di dunia maya. Segala tantangan sekaligus kemudahan yang ada tak jarang krisis makna dan semangat menghantam mereka. Ini merupakan tantangan terbesar yang sedang dan mungkin akan terus kita hadapi.
Kita mungkin sudah sering melihat dan mendengar tentang carut-marutnya problem yang mereka hadapi lewat media masa, entah itu hal yang baik atau hal buruk atau bahkan yang sangat buruk. Dalam dunia yang berputar secepat kilat Gen Z adalah seorang penjelajah hanya dengan sentuhan jari dunia mereka akan terbuka layaknya buku cerita yang tak pernah berakhir.
Generasi Z tumbuh dengan perangkat teknologi yang sangat canggih dan cepat. Mereka memiliki akses instan ke berbagai informasi hiburan dan komunikasi melalui smartphone dan internet. Dengan adanya media sosial memungkinkan mereka mendapatkan open balik like komentar dan berbagai momen dalam hitungan detik. Semua ini yang nantinya akan memuaskan keinginan untuk tangkapan cepat dari dunia luar yang berujung pada keinginan untuk menghadirkan kenyamanan yang serba instan.
Dengan kenyamanan teknologi semua orang saat ini terbiasa dengan komunikasi cepat melalui pesan teks dan media sosial. Mereka dapat berkomunikasi dengan teman dan keluarga dalam hitungan detik tanpa harus menunggu surat atau panggilan telpon, yang pada zaman dulu untuk mendapatkan sebuah berita atau surat balasan memerlukan waktu berhari-hari atau bahkan berminggu-minggu atau bahkan berbulan-bulan. Layanan streaming seperti Netflix, Youtube, dan platform musik online memungkinkan mereka untuk menonton film, video, atau mendengarkan musik kapanpun dan dimanapun mereka inginkan. Hal ini menurut mereka adalah sebuah kemampuan yang sangat penting untuk mereka menggelorakan hasrat serba instan dalam diri Gen Z.
Gen Z dilahirkan di zaman dimana mereka bisa mendapatkan sesuatu tanpa proses dan perjuangan panjang. Saat lapar di malam hari tinggal pencet tombol di layar hp dan makanan pun akan datang ke depan pintu. Hal ini berbeda sekali dengan generasi sebelumnya yang kalau lapar harus berjuang dulu. Seperti masak atau keluar dan pergi membeli makanan, itu yang notabenenya membutuhkan perjuangan.
Kenyamanan-kenyamanan inilah yang dianggap atau menyebabkan Gen Z kalah dalam hal kegigihan bila dibandingkan dengan generasi terdahulu. Semua kenyamanan yang dirasakan pada era ini hampir mencakup semua bidang. Bahkan ketika berbelanja pun Gen Z cenderung berbelanja secara online yang sekali lagi memberi mereka kemampuan untuk membeli barang dengan cepat dan efisien tanpa harus pergi ke toko fisik.
Akibat dari perkembangan ini muncul yang namanya hiperrealitas. Hiperrealitas ini mungkin adalah salah satu yang paling berpengaruh atau bertanggung jawab paling besar dalam krisis makna dan juga identitas yang diperlukan oleh generasi terdahulu dan diperlukan oleh generasi terdahulu.
Jean Baudrillard, seorang Filsuf Perancis adalah salah satu yang pertama kali menjelaskan istilah hiperrealitas, yaitu ketidakmampuan untuk membedakan yang nyata dari simbolismenya yang menunjukkan yang nyata.
Pada dasarnya, ketidakmampuan seseorang membedakan yang mana realitas dan yang mana simulasi dari realitas, yang mana kehidupan nyata dan yang mana sebenarnya cuma simulasi dari kehidupan nyata itu.
Seiring dengan perkembangan teknologi, media sebagai simulasi menjadi lebih dekat dengan realitas, mempengaruhi realitas kita dengan mendalam. Garis yang membatasi antara simulasi dan kenyataan mulai kabur, karena semakin ke sini, orang-orang lebih lama menghabiskan waktunya online di internet daripada di kehidupan nyata.
Harapan dan minat seseorang sekarang dibentuk oleh algoritma dan kecerdasan buatan yang ada pada media sosial. Dulu, dunia online dianggap terpisah dari kehidupan nyata, sekarang secara perlahan menjadi bagian integral dari kehidupan itu sendiri.
Media sosial tidak hanya sebagai platform untuk berkomunikasi dengan orang lain, tapi sekarang berpengaruh dalam membentuk ekspektasi dan harapan terhadap diri sendiri, orang-orang di sekitar kita, dan hidup secara realitas. Dan harapan ini membentuk tekanan terhadap diri sendiri untuk mencapai standar yang jauh lebih tinggi dari sebelumnya. Tekanan untuk menyesuaikan diri dengan harapan masyarakat, mempengaruhi pelaku, menciptakan dunia di mana individu berusaha mengoptimalkan hidup mereka, untuk mendapatkan visibilitas dan penerimaan maksimal.
Namun dengan adanya internet, globalisasi ada dan standar-standar ini adalah highlight, dari momen-momen terbaik dari orang-orang terbaik yang pernah ada. Dalam konteks ini, pencarian tujuan mengambil bentuk baru. Meskipun ada alasan yang mendasari tindakan, seringkali itu berkisar pada nilai-nilai dangkal masyarakat modern.
Pencarian lebih banyak teman, lebih banyak uang, lebih banyak barang, lebih banyak materi dan lebih banyak follower menjadi pengganti tujuan yang lebih bermakna. Membuat individu merasa seperti objek dalam realitas yang disimulasikan. Jenis tujuan baru ini tidak memiliki kedalaman yang telah menentukan pengalaman manusia selama berapa abad. Dan ini tidak menimbulkan makna mendalam yang membuat hidup terasa benar-benar hidup. Sebaliknya, itu mempertahankan ilusi kedalaman melalui validasi eksternal.
Meyakinkan individu bahwa solusi terhadap kekurangan kedalaman ini adalah mencari lebih banyak teman, lebih banyak uang, lebih banyak barang, dan lebih banyak follower.
Dunia online dan media sosial bukanlah kehidupan nyata. Namun dunia online ini secara progresif menjadi lebih terkait dengan kehidupan nyata. Harapan orang-orang terhadap pasangan melonjak berkat sifat hiperreal dari media sosial. Yang menyoroti orang-orang paling cantik dan tampan yang pernah ada. Orang-orang paling romantis yang pernah ada. Orang-orang paling perfect yang pernah ada. Manusia secara alami tertarik pada konten tersebut. Dan insting untuk membandingkan diri sendiri dengan highlight orang lain. Membuat orang berpikir bahwa realitas mereka seharusnya mencerminkan gambaran ideal ini. Padahal yang ditunjukkan di media sosial bukanlah kehidupan mereka, bukanlah realitas mereka. Tapi cuma sorotan-sorotan yang kadang terjadi di kehidupan mereka. Dan itu juga sudah diedit sedemikian rupa agar dapat ditunjukkan dalam media sosial. Akibatnya, individu berusaha mengoptimalkan realitas mereka. Membuat hidup mereka seolah-olah penuh romansa, materialisme, dan berbasis penampilan.
Berita yang datang silih berganti menghadirkan badai rasa takut ketinggalan segala sesuatu yang terbaru atau FOMO, Fear of Missing Out. Media sosial seringkali menjadi tempat di mana tekanan sosial dan perbandingan diri terjadi. Banyak orang seringkali merasa harus sempurna di mata publik. Hal ini dapat menimbulkan stres serta tekanan mental. Belum lagi rasa malu dikarenakan gagal memenuhi standar sukses di media sosial juga menjadi beberapa pemicu timbulnya stres.
Bahkan dalam laporan Wall Street Journal, dijelaskan bahwa satu dari tiga gadis remaja mengalami krisis citra diri akibat Instagram. Teknologi atau sosial media juga berperan besar terhadap perasaan terisolasi dan kesepian intens pada remaja.
Bagi individu muda dalam generasi Z yang kesulitan terhubung dengan orang lain secara ekonomi, maka hal ini dapat menimbulkan stres dan tekanan mental. Sebagian besar masalah mungkin berasal dari kurangnya kemampuan atau keinginan orang untuk menyelami diri mereka sendiri.
Rasa tujuan dari Gen Z mungkin tidak sepenuhnya lenyap. Segala sesuatu yang mereka lakukan masih memiliki alasan yang mendasarinya. Namun, tujuan yang baru ditemukan ini terpusat pada nilai-nilai dangkal yang kurang memiliki kedalaman yang telah dialami manusia selama berabad-abad. Tujuan kontemporer ini hampir tidak dapat dianggap bermakna. Karena gagal menggali makna mendalam dari kehidupan yang membuatnya terasa benar-benar hidup. Tapi, tujuan ini membuat kita merasakan sensasi seperti objek dari realitas yang disimulasikan. Membuat kita percaya bahwa penyelesaian untuk kurangnya kedalaman terletak pada akumulasi lebih banyak teman, lebih banyak uang, lebih banyak barang, dan lebih banyak follower.
Gen Z yang tumbuh dalam era media sosial yang memperkuat perbandingan status sosial seringkali merasa harus tampil sempurna di mata publik. Dengan adanya internet, kita menyaksikan bagaimana dunia berubah dengan cepat dan terpaksa harus beradaptasi dengan perubahan tersebut. Ini menimbulkan tantangan yang cukup besar.
Bahkan, guru gembul sendiri mengatakan bahwa generasi ini adalah generasi terkutuk. Dimana kita dituntut untuk terus beradaptasi dengan kecepatan yang belum pernah terjadi sebelumnya.
Kita mengetahui bahwa media sosial sekarang tidak memiliki batasan, dimana orang bisa mencomoh dan mengejek dengan sangat bebas. Setiap orang sekarang bersembunyi di balik akun anonim yang mengakibatkan kecepatan banyak berterbangan, baik kan debu, dan pengaruh pasca covid-19 yang tetap memiliki efek pada beberapa remaja. Banyak yang tidak bisa pulih dan beradaptasi dengan kehidupan yang mulai terhubung lagi di dunia nyata. Banyak yang lebih prefer untuk tetap berdiam diri di dalam rumah dan terisolasi, meningkatkan waktu terhabiskan online daripada realitas asli semakin banyak.
Selain itu, generasi Z juga tumbuh di tengah berbagai krisis global. Mulai dari krisis ekonomi, perubahan iklim, hingga pandemi covid-19 yang terjadi sebelumnya. Kita semua dipaksa harus menghadapi ketidakpastian di segala bidang.
Generasi Z juga mempunyai kekayaan yang jauh lebih sedikit daripada generasi sebelumnya saat memasuki usia yang sama. Dengan gejolak ekonomi yang berkelanjutan, yang terus mengambil korban finansial dari kaum muda, kita akhir-akhir ini sering mendengar adanya PHK massal yang dilakukan oleh banyak perusahaan yang tak sedikit anak muda menjadi korbannya. Belum lagi ditambah utang yang meledet akibat pinjol.
Pengangguran akibat gejolak ekonomi tadi dan gejolak politik yang kian hari kian memanas. Seperti perang yang satu persatu mulai pecah. Semua hal ini adalah penyebab banyaknya generasi Z yang mengalami stres atau bahkan stres berat yang tak jarang berakhir dengan jalan pintas yang tak bisa dibenarkan, yaitu bunuh diri.
Belum lagi, kebanyakan gen Z juga berada dalam tahap perkembangan identitas yang krusial. Mereka mungkin merasa bingung tentang siapa mereka dan apa yang mereka inginkan yang dapat memicu perasaan yang membuat mereka merasa frustasi atau putus asa.
Krisis identitas adalah sebuah kondisi ketika seseorang kerap mempertanyakan berbagai hal yang berkaitan dengan identitas dirinya. Ini adalah momen di mana seseorang mengajukan serangkaian pertanyaan yang menggeliti inti keberadaannya, seperti kepercayaan, nilai hidup, tujuan atau aspirasi hidup, pengalaman, dan perasaan.
Krisis identitas dapat dialami oleh semua orang, tapi lebih sering terjadi pada remaja yang masih mencari jati diri. Krisis identitas umumnya terjadi karena adanya perubahan atau tekanan besar dalam hidup yang dapat menyebabkan stres berat. Misalnya saat mendapatkan atau kehilangan pekerjaan, saat pensiun, saat baru menikah atau bercerai, pindah rumah, atau bahkan saat kehilangan orang yang dicintai. Orang yang berada dalam pusaran krisis identitas menemukan diri mereka melayang di lautan pertanyaan, siapakah saya sejatinya?
Menjadi mantra yang melingkari pikiran, diikuti oleh pertanyaan tentang tujuan hidup, nilai-nilai yang ingin digenggam, hingga peran dan arti.
Tidak ada yang bisa dikawal dari eksistensi mereka di dalam masyarakat. Cemas dan kekhawatiran tumbuh subur di dalam kegelapan krisis identitas. tumbuh subur di dalam kegelapan krisis ini.
Mereka menciptakan bayangan ketidakpastian, membuat seseorang meraba-raba dalam kebimbangan. Kesadaran akan kurangnya makna dalam diri, menyulut kebingungan, kehilangan arah, putus asa, dan bahkan merasa hampa.
Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, Gen Z telah mengalami begitu banyak perubahan dan ketidakstabilan di tahun-tahun pertumbuhannya. Dapat dikatakan bahwa mereka sedang mengalami krisis seperempat kehidupan atau yang lebih dikenal dengan quarter life crisis.
Generasi ini adalah satu-satunya generasi yang telah melalui peristiwa seperti munculnya media sosial, mengalami krisis iklim, krisis energi, krisis energi, juga bertebarannya berita palsu, perang, dan yang terpenting, hidup di masa pandemi. Hal itu mungkin saja merenggut orang-orang tercinta mereka.
Gen Z atau bahkan masyarakat secara keseluruhan saat ini mudah sekali terpengaruh oleh media sosial. Alih-alih mengeksplorasi diri, mereka malah merajut ke peribadian online yang sejalan dengan arus mayoritas atau idolanya.
Sejak munculnya teori perpendingan sosial yang diperkalkan oleh psikolog, Leon Festinger, pada 1954, yang menurutnya, kita menilai diri dengan membandingkannya dengan orang lain. Suatu kecenderungan yang kini semakin membumi dalam era Gen Z.
Psikolog sosial John Turner dan Henry Tuchfel pada tahun 1970-an melangkah lebih jauh dengan teori identitas sosial. Konsep ini membahas tentang bagaimana diri kita terbentuk melalui keanggotaan dalam kelompok sosial. Dalam konteks mode dan budaya pop, teori ini menjelaskan mengapa seseorang tergoda mengikuti jejak selebriti dan influencer.
Mengikuti tren yang mereka tetapkan bukan hanya sebatas pengajaran gaya, tetapi juga upaya untuk meraih kesan kebermaknaan dan rasa superioritas. Sama seperti idola yang mereka atau kita kagumi. Memposting di media sosial adalah salah satu cara untuk mendapatkan validasi. Umpan balik yang dapat diukur. Seperti jumlah like atau komentar positif pada sebuah postingan semakin membuat seseorang terompang ambing di lautan ketidakpastian jati diri.
Oleh karena itu, mencullah istilah Paradox of Choice. Nah kesulitan dalam mengambil keputusan ini, ini adalah yang disebut dengan Paradox of Choice. Ini juga berpengaruh signifikan terhadap kemunduran mental yang dialami oleh Gen Z.
Paradox of Choice menarangkan kalau banyaknya opsi pilihan yang tersedia tidak membuat kegiatan memilih kita menjadi lebih gampang aaupun membuat kepuasan kita meningkat. Malahan, melubernya pilihan membuat waktu kita terkuras banyak dan usaha yang dikeluarkan pun pastinya lebih besar untuk membuat sebuah keputusan yang tepat dan optimal.
Begini, ketika dihadapkan atau diberi pilihan antara donat rasa keju atau vanila, akan terasa lebih mudah bagi kita untuk membandingkan cost and benefit dari dua produk tersebut. Tetapi ketika alternatif pilihan bertambah menjadi 10 kali lipat atau bahkan 100 kali lipat, kita tentunya merasa kesulitan mengetahui mana yang terbaik.
Alih-alih mendapatkan kebebasan untuk memilih, Paradox of Choice memperlihatkan bahwa banyaknya pilihan justru membatasi kebebasan kita. Dimana kelebihan pilihan malah membuat banyak orang lebih memilih jalan pintas. Yang sekali lagi, mengikuti tren akan memberikan kenyamanan mental, meredakan kebingungan di tengah hiruk-pikuk opsi yang melimpah.
Berbeda dengan para filsuf Yunani kuno yang percaya bahwa segala sesuatu, termasuk manusia, telah memiliki esensi yang sudah ada sebelumnya. Esensi, baru kemudian eksistensi. Dalam buku Existentialism is a Humanism, Sartre justru berpikir sebaliknya, yaitu eksistensi datang sebelum esensi.
Kita bukan apa-apa sampai kita memutuskan untuk menjadi apa. Menurut Sartre, makna hidup ditentukan oleh tindakan kita dan aktivitas tersebut mendefinisikannya. Pandangan ini menekankan bahwa individu harus membuat pilihan yang memberikan makna pada eksistensinya.
Krisis identitas dapat muncul ketika individu merasa terjebak dalam peran yang ditentukan oleh masyarakat. Makna hidup itu diciptakan, bukan ditentukan. Kehidupan setiap orang memiliki makna unik dan spesifik. Dengan menciptakan, mengalami, dan memilih respons kita terhadap suatu situasi, kita dapat memberikan makna pada hidup kita.
Di balik kelamnya krisis identitas ini, di balik semua tantangan dan stereotipe yang menerpa Gen Z, sebenarnya terdapat peluang untuk memahami jati diri dengan lebih dalam. Sebagaimana dua sisi berbeda pada satu koin, sebagaimana yang sering diimani oleh para pengusaha. Di setiap risiko besar, pastinya terdapat keuntungan yang sama besarnya.
Sebagaimana sebuah pedang yang harus ditempa ratusan atau bahkan ribuan kali untuk membuatnya tajam. Pencarian ini, meski menyulitkan, mampu menjadi katalisator transformasi menuju kesejatian, keautentikan, dan kehidupan yang lebih bermakna.
Mungkin bukan salah kita kita tidak bisa menemukan apa itu arti hidup, tapi itu tanggung jawab kita untuk menemukannya dan juga membentuknya.